BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada sebuah organisasi perusahaan
atau pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas dan
penyelenggaraan, dipengaruhi kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas
organisasi yang memadai, maka penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik akan
terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan salah satu sebab
keruntuhan kinerja organisasi di indonesia. Kepemimpinan dapat dikatakatakan
sebagai cara dari seorang pemimpin dalam mengarahkan, mendorong dan mengatur
seluruh unsur-unsur didalam kelompok atau organisasi untuk mencapai suatu
tujuan organisasi yang diinginkan sehingga menghasilkan kinerja pegawai berarti
tercapainya hasil kerja seseorang atau pegawai dalam mewujudkan tujuan
organisasi tersebut. Kepemimpinan yang efektif sangat dipengaruhi oleh
kepribadian pemimpin. Setiap pemimpin perlu memiliki aspek-aspek kepribadian
yang dapat menunjang usahanya dalam mewujudkan hubungan manusia yang efektif
dengan anggota organisasinya.
Ada
pun konsep kepemimpinan pemerintahan di Indonesia yaitu yang pertama adalah
Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu
menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan
Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya
sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila untuk
mencapai tujuan nasional. Yang kedua adalah Kepemimpinan Pembangunan secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu pembangunan yang bersifat materiil
(misalnya pembangunan ekonomi) dan pembangunan yang bersifat spiritual
(kemajuan kualitas tiap individu), di mana kedua macam pembangunan tersebut
memiliki resiko masing-masing apabila tidak dilaksanakan atau sedikit
diabaikan. Kinerja pemerintahan yang belum optimal pada akhirnya akan
menyebabkan gagalnya negara dalam menjaga dan mengelola sumber daya pembangunan
maupun pencapaian tujuan negara itu sendiri.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan yang
dimaksud dengan Kepemimpinan Pancasila!
2.
Jelaskan yang
dimaksud dengan Kepemimpinan Pembangunan!
3.
Bagaimana
kepemimpinan pemerintahan di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pancasila.
2.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pembangunan.
3.
Untuk
mengetahui kepemimpinan pemerintahan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kepemimpinan
Pancasila
2.1.1 Pengertian
Kepemimpinan Pancasila
Menurut
Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan yang berasas, berjiwa,
dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur
yang berakar pada budaya nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan
universal.
Adapun
nilai-nilai budaya nusantara meliputi keterjalinan hidup manusia dengan Tuhannya,
keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan alam, kerukunan dan
mempertemukan cita-cita hidup di dunia dan akhirat. Nilai-nilai kemajuan
universal meliputi pendayagunaan Sains dan Teknologi secara efektif dan efisien
dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa disegala aspek
kehidupan.
Menurut
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang
selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan
Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya
sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila untuk
mencapai tujuan nasional.
Kepemimpinan
Pancasila adalah suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal
dengan kepemimpinan Indonesia, sehingga dalam kepemimpinan pancasila
menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
Agar
mampu melaksanakan tugas kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga
kewibawaannya. Dia harus memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bila dibanding
dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan ini terutama meliputi
segi teknis, moral, dan semangat juangnya.
Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut :
1.
Sehat
jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2.
Memiliki
integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab, dan
susila.
3.
Rela bekerja
atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya.
4.
Memiliki
inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat,
efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi, dan mampu memberikan motivasi
yang baik kepada bawahan.
5.
Mampu menilai
dan membedakan aspek yang positif dari yang negatif dari setiap pribadi dan
situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak.
Pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral
pancasila dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional antara sebagai berikut :
1.
Yang dimaksud
dengan pancasila adalah pancasila yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, berupa kesatuan bulat dan utuh dari kelima sila, yaitu ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Nilai-nilai
tersebut harus dihayati, yaitu diresapi serta diendapkan dalam hati dan kalbu,
sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diramalkan dengan kesungguhan hati dalam
kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat, (sekaligus
menjadi dasar negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun damai bersama-sama.
3.
Pancasila
dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan
beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena
kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan
Tuhan. Kebebasan beragama itu bukan pemberian negara dan bukan pula pemberian
golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.
Pancasila juga dapat dipakai sebagai moral bangsa.
Uraian mengenai kelima sila dari pancasila secara ringkas adalah sebagai
berikut :
1.
Ketuhanan
yang maha esa.
Orang
harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang maha Esa dan menghargai orang lain
yang berbeda agama atau kepercayaan. Jadi ada sikap hormat menghormati dan
kerukunan hidup beragama dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan.
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Tidak
sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada
diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Toleran
terhadap sesama, saling menghormati, mampu melakukan kegiatan-kegiatan
manusiawi dan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
3.
Persatuan
Indonesia.
Cinta
tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi,
memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan
bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Bersifat
demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan,
juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati
nurani luhur.
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk
menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang
lebih merata di segala bidang kehidupan. Norma-norma yang tercakup dalam
Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan
oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin.
Selanjutnya, kepemimpinan pancasila
ialah bentuk kepemimpinan yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai luhur
dari norma-norma pancasila, semangat kepemimpinan Pancasila itu dapat terwujudkan,
apabila nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dapat dipadukan dengan
nilai-nilai modernisasi yang positif, antara lain dengan ciri-ciri demokratis,
rasional, kritis, efisien-efektif dan berdisiplin tinggi.
Kepemimpinan Pancasila
dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang dijiwai Pancasila, disemangati
azas kekeluargaan, memancarkan wibawa serta menumbuhkan daya mampu
untuk membawa serta masyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kepemimpinan
yang diharapkan adalah kepemimpinan moderen, kepemimpinan Pancasila perlu
memiliki ciri-ciri tentang sifat kepemimpinan modern. Di antara
sifat-sifat kepemimpinan modern adalah sebagai berikut:
a.
Berorientasi
jauh ke depan
Dalam
menentukan kebijaksanaan dan memecahkan persoalan, masa yang akan datang selalu
diperhitungkan. Karena kita bukan hidup untuk masa lampau, tetapi hidup untuk
menyongsong masa yang akan datang.
b.
Berlandaskan
pola pikir ilmiah
Dalam
mengambil keputusan mengikuti penentuan masalah/problem, penentuan
data/informasi yang diperlukan, pengumpulan data dan informasi, analisis data,
penarikan simpulan. Dengan demikian, dihindari pengambilan keputusan yang
didasarkan pada emosi atau intuisi semata-mata ataupun situasi senang dan tidak
senang.
c.
Berpegang
pada prinsip efesien dan efektif
Menentukan cara yang perlu diambil dalam
menyelesaikan suatu kegiatan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya,
biaya, sarana dan tenaga yang minimal tetapi tercapai hasil yang maksimal.
Cara ini perlu dipadukan dengan nilai atau azas Pancasila sehingga
tercapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Kepemimpinan pancasila, teori ini mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada nilai-nilai pancasila seperti yang
dijelaskan oleh lima sila yang ada pada ideologi negara ini. Kepemimpinan
pancasila menurut Drs. Sukarna dalam bukunya yang berjudul “kepemimpinan dalam
administrasi Negara” adalah kepemimpinan yang Thesis (percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa), kepemimpinan yang humanis (memiliki rasa kemanusian), kepemimpinan
yang demokratis, kepemimpinan yang runitaris (mempersatukan) dan kepemimpinan
yang sosial justice ( kepemimpinan yang berkeadilan).
Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa
seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai
pancasila dalam kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan,
nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci
akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kepemimpinan
Thesis atau yang berketuhanan Yang Maha Esa
Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang
religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan
Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya.
Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa.
Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh tokoh-tokoh agama,
tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajaran
agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin yang
seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah diterapkan karena
merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das
sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini
sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya Islam dengan gaya
nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh panutannya
yaitu Jesust Crist, serta Hindu dan Budha dengan Dewa yang mereka yakini
sebagai tokoh panutan dalam bertindak.
2.
Kepemimpinan
yang humanis
Kepemimpinan model ini berdasarkan sila ke-2
pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan
kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan.
Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nilai-nilai
kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban dimaksudkan
sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika sosial yang kuat
dan menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap
sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil
bukan berarti sama rata, namun adil sesuai dengan hak dan kewajibannya atau
sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan model ini juga tidak gampang,
perlu pembelajaran dan penghayatan yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap
dan tingkah laku sehari-hari para pemimpin model ini.
3.
Kepemimpinan
yang unitaris atau nasionalis
Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 ini yaitu
persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat.
Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi dari setiap inividu
ditujukan kepada kepribadian bangsa. Ada 4 fungsi nasionalisme bagi
kepemimpinan administratif menurut Drs. Sukarna, yaitu:
a.
Mempersatukan
seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan bangsa Indonesia
b.
Mengeliminasi
dominasi asing, ataupun yang bersifat asing dalam politik, ekonomi, sosial dan
budaya
c.
Mempertahankan
kepribadian bangsa indonesia di tengah-tengah percaturan global
d.
Mengusahakan
gengsi dan pengaruh dalam dunia internasional
Kepemimpinan yang menyatukan yang menjadikan perbedaan itu ke suatu arah tujuan bersama itulah ide utama dari kepemimpinan tipe ini, dengan perbedaan yang ada kita tetap teguh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan acaman dari luar. Esensinya bahwa rasa cinta pada negeri yang rasional dan kemampuan untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam masyarakatnya. Kepemimpinan tipe ini harus bebas dari primordial yang sempit, harus mempunyai wawasan nusantara yang mendalam, agar tidak terpengaruhi oleh iming-iming asing yang menggoda sesaat.
Kepemimpinan yang menyatukan yang menjadikan perbedaan itu ke suatu arah tujuan bersama itulah ide utama dari kepemimpinan tipe ini, dengan perbedaan yang ada kita tetap teguh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan acaman dari luar. Esensinya bahwa rasa cinta pada negeri yang rasional dan kemampuan untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam masyarakatnya. Kepemimpinan tipe ini harus bebas dari primordial yang sempit, harus mempunyai wawasan nusantara yang mendalam, agar tidak terpengaruhi oleh iming-iming asing yang menggoda sesaat.
4.
Kepemimpinan
demokratik
Kepemimpinan administratif yang mengacu pada sila
ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis
pancasila. Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang demokratis pancasila ini menurut
Drs. Sukarna adalah sebagai berikut:
a.
Kepemimpinan
administartif tunduk dan taat kepada kehendak serta aspirasi-aspirasi rakyat di
dalam segala bidang baik yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
b.
Kepemimpinan
administratif selalu melaksanakan amanat rakyat yang tertuang dalam falsafah
hidupnya sendiri, UUD dan aturan lain yang ada dibawahnya yang merupakan
aspirasi dan suara rakyat
c.
Kepemimpinan
demokratik selalu menjunjung tinggi falsafah”ambeg paramarta” yaitu
mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, bukan otoriter atau
tirani
d.
Kepemimpinan
demokratik harus menjunjung tinggi penegakan hukum, karena negara kita adalah
negara hukum
e.
Kepemimpinan
administratif mempunyai kewajiban untuk menegakan HAM
f.
Kepemimpinan
yang demokratik pada dasarnya tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan,
namun menyerahkannya kepada pembagian yang proporsional.
5.
Kepemimpinan
social justice
Kepemimpinan yang didasarkan pada sila ke-5 yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Kepemimpinan berkeadilan itulah
konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini bukan sama rata dan sama rasa, namu
lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan kewajibannya, harus proporsional,
oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan ini perlu strategi yang tepat
untuk mengasah kemampuan membuat suatu kebijaksanaan yang benar-benar
bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini harus pandai membaca situasi, harus
pandai mencari kearifan dan menemukan hal-hal yang tidak pernah dikemukakan
orang lain yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Ada beberapa
ciri-ciri kepemimpinan yang berkeadilan (Sukarna, 2006,75), yaitu:
a.
Kepemimpinan
selalu mendahulukan kepentingan orang yang mengikutinya atau kepentingan umum
diatas kepentingan pribadi atau kelompok.
b.
Tidak
bersifat nepotisme atau mendahulukan orang-orang terdekat dalam setiap
pengambilan.
c.
Mampu
menegakkan keadilan.
d.
Tidak mungkin
mewujudkan keadilan sosial jika dalam suatu negara atau suatu organisasi yang
pemimpinnya menganut paham otoriterisme, karena dalam konsep otoriterisme tidak
mengenal keadilan model ini.
e.
Menempatkan
pengikutnya diatas segalanya, karena dia sebagai pelayan pengikutnya.
2.1.2 Azas-Azas Kepemimpinan
Pancasila
Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola
pikir modern dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai
berikut:
1.
Azas
Kebersamaan
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan
Pancasila hendaknya:
a.
Pemimpin dan
yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi
b.
Pemimpin tidak
terpisah dengan yang dipimpin
c.
Pemimpin dan
yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi
d.
Pemimpin dan
yang dipimpin bukan unsur yang saling bertentangan sehingga tidak terjadi
dualisme
e.
Masing-masing
unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dan kewajiban hidup
(dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golongan yang paling kuat, tetapi
juga tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat
f.
Tanpa ada
yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin
2.
Azas Kekeluargaan
dan Kegotong-royongan
Ciri-ciri kekeluargaan dan Kepemimpinan Pancasila,
di antaranya:
a.
Timbul
kerjasama yang akrab
b.
Kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama yang menjadi titik tumpu
c.
Berlandaskan
kasih sayang dan pengorbanan
3.
Azas
Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan
Kita semua sadar akan kebhinekaan Bangsa
Indonesia, baik dari segi suku, bangsa, adat istiadat, agama, aliran dan
sebagainya. Namun keanekaragaman itu, masing-masing diakui keberadaannya
sendiri-sendiri dan ciri-ciri kepribadiannya dalam persatuan dan kesatuan
ibarat bunga setaman dalam satu jambangan, terdiri dari jenis bunga mawar,
melati dan kenanga. Masing-masing tetap dikenal sebagai jenis bunga,
tetapi baru akan dinamakan bunga setaman bila ketiga-ketiganya ada dalam
jambangan tersebut, sehingga bunga setaman ini merupakan suatu kesatuan.
Melati tidak mengharapkan agar mawar dan kenanga berubah menjadi melati
semua. Sebaliknya mawar pun tidak akan memaksa melati supaya berubah
menjadi mawar. Bila tidak demikian, maka tidak akan berbentuk bunga
setaman.
4.
Azas Selaras,
Serasi dan Seimbang
Semua
azas tersebut di atas harus dijiwai dan disemangati oleh azas keselarasan,
keserasian dan keseimbangan, azas yang tidak mencari menangnya sendiri, adu
kekuatan, atau timbul kontradiksi, konflik dan pertentangan. Adanya
perbedaan keanekaragaman adalah mencerminkan kodrat alam yang masing-masing
memiliki tempat. Kedudukan dan kewajiban serta fungsinya sendiri-sendiri.
Dengan adanya berbagai warna seperti biru, hijau, merah, kuning, jingga
dan sebagainya akan memberikan kesan yang indah apabila tersusun secara
tepat. Komposisi warna yang tepat akan menimbulkan suasana indah yang akan
menumbuhkan ketentraman batin. Di negara Indonesia, setiap warga
negara diharapkan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan
norma yang terkandung dalam Pancasila. Seorang pemimpin diharapkan menjadi
contoh teladan serta panutan orang-orang yang dipimpinnya, mau tidak mau harus
bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan Pancasila. Ia harus melaksanakan
butir-butir yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai tersebut.
2.2 Kepemimpinan
Pembangunan
Pada zaman yang modern ini, semua negara di dunia
nampak ramai bersaing untuk dapat menjadi negara yang maju dan sejahtera. Pembangunan
nasional merupakan sebuah topik yang hangat dan ramai diperbincangkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena pembangunan dapat dikatakan
syarat mutlak agar suatu negara bisa berkembang. Salah satu mosi yang banyak
diperdebatkan saat ini adalah wacana mengenai keharusan partisipasi aktif
masyarakat dalam pembangunan.
Selanjutnya,
di alam kemerdekaan dan pembangunan sekarang, berhasilnya pembangunan nasional
sangat bergantung pada ikut sertanya seluruh rakyat Indonesia yang memiliki
sikap, mental, tekad, semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam
menjalankan tugas kewajibannya. Untuk hal ini perlu dibangkitkan motivasi
membangun di kalangan masyarakat luas, dan motivasi pengorbanan pengabdian pada
unsur kepemimpinan (local, regional maupun nasional). Sebab dengan keteladanan
yang utama atas dasar pengorbanan dan pengabdian pada kepentingan rakyat
banyak, maka segenap rakyat kecil akan rela berperan serta dalam usaha
pembangunan. Dengan demikian, dalam era pembangunan sekarang diperlukan tipe
kepemimpinan penggugah/stimulator dinamisator untuk menggairahkan semangat
pembangunan di segala bidang kehidupan.
Ada
beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan pembangunan dan para
pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu :
a.
Kepemimpinan
dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu
pancasila.
b.
Memahami
benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin
dicapai. Khususnya menyadari makna pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan fisik, demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan riil dari
rakyat, serta peningkatan kehidupan bangsa atas asas manfaat, usaha bersama,
kekeluargaan, demokrasi, serta prinsip adil dan adil.
c.
Diharapkan
kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional
kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian
dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan
Indonesia.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan
nasional merupakan transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja
melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam
struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan
produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya
terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor
pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat
melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap
sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,
fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik.
Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya
semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan
norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke
materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan
rasional.
Dari penjabaran di atas, dapat kita tarik beberapa
poin penting mengenai pembangunan. Salah satunya adalah bahwa pembangunan
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua : Pembangunan yang bersifat
materiil (misalnya pembangunan ekonomi) dan pembangunan yang bersifat spiritual
(kemajuan kualitas tiap individu), di mana kedua macam pembangunan tersebut
memiliki resiko masing-masing apabila tidak dilaksanakan atau sedikit
diabaikan.
Bagi negara maju, pelaksanaan pembangunan di kedua
bidang tersebut secara bersamaan mungkin bukanlah sebuah hal yang sulit dilaksanakan
melihat pada dasarnya mereka sudah memiliki sumber daya yang diperlukan. Pada
negara maju, perekonomian cenderung sudah stabil dan mandiri. Kemampuan
masyarakat negara maju pun secara umum, misalnya kita lihat dari bidang
pendidikan, adalah rata-rata lebih tinggi. Masyarakatnya pun adalah masyarakat
yang kritis serta aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Polemik terjadi dalam negara berkembang, salah satunya
di Indonesia. Sudah 71 tahun kita merdeka, perkembangan yang telah kita capai masih
belum jelas terasa. Bahkan dapat dikatakan sudah tertinggal jauh dibanding
negara lain yang usianya dapat dikatakan lebih muda daripada kita. Berbagai
kalangan telah berusaha mengkaji dan berdiskusi mengenai pembangunan di bidang
apakah yang harus kita prioritaskan. Kemajuan dalam sektor ekonomi tentu tidak
akan maksimal tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Dan sumber
daya yang berkualitas tidak akan berkembang lebih baik lagi tanpa adanya fasilitas
memadai yang disediakan oleh negara. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa
sebuah pembangunan, bagaimanapun sifatnya, tidak dapat meninggalkan satu sama
lain. Dengan kata lain, pembangunan yang paling ideal adalah sebuah pembangunan
yang dilaksanakan secara bersama-sama baik di bidang materiil dan spiritual,
yang tentunya merupakan sebuah tantangan besar bagi semua negara berkembang.
Sebuah negara pasti ada karena adanya partisipasi
dari masyarakatnya. Dalam melaksanakan suatu pembangunan, suatu negara
diberikan pilihan mengenai teknik apakah yang akan mereka gunakan. Untuk lebih
mudahnya, kita dapat mengambil contoh dari negara-negara lain.
Ada negara yang memilih untuk menjalankan sebuah
pembangunan dengan cara sentralisasi. Semua kegiatan dan kebijakan dilakukan
oleh pemerintah sedangkan rakyat hanyalah sebagai partisipan pasif, pelaksana
kebijakan pemerintah. Cara ini memerlukan kesungguhan serta paksaan dari
pemerintah serta adanya kepatuhan dari masyarakatnya.
Namun masih ada satu cara lagi untuk melaksanakan
pembangunan. Apabila cara di atas lebih menekankan pada keberadaan sebuah
kekuasaan yang memaksa, kita juga dapat melakukan sebuah pemerintahan dengan
kekuatan yang sifatnya adalah persuasi kepada rakyat dengan menggunakan
nilai-nilai asli yang terdapat dalam masyarakat tersebut (partisipasi
masyarakat).
Kedua metode tersebut tentunya bila dilaksanakan
dapat membawa perkembangan yang positif bagi suatu negara yang tentu saja
tingkat keberhasilan dari diterapkannya metode tersebut tergantung dengan
kondisi negara setempat. Bila kita tinjau dari resiko yang akan kita hadapi,
penggunaan metode paksaan pada umumnya lebih beresiko karena metode ini lebih
mengutamakan pada pembangunan sektor ekonomi sedangkan rakyat tidak terlalu
berkembang. Gejolak-gejolak dan sengketa sosial lebih rawan terjadi terlebih
karena metode ini adalah sangat rawan dengan absolutisme pemimpin sehingga
keinginan dan aspirasi masyarakat sangat sedikit yang dapat terjaring.
Sebaliknya, dalam metode partisipasi, resiko
demikian jauh lebih kecil dan pemerintahan berjalan secara relatif lancar.
Kemudian bila kita lihat, dalam taraf tertentu suatu pembangunan pasti akan
membutuhkan partisipasi tenaga-tenaga manusia yang kreatif. Maka dapat kita
simpulkan bahwa pembangunan dengan adanya partisipasi aktif dalam masyarakat
akan lebih dapat menjamin keselarasan atau kontinuitas gerak pembangunan
sendiri.
Maka apabila pembangunan hendak dilakukan secara
seimbang, yakni dengan partisipasi masyarakat secara aktif, kita sampai kepada
sebuah pertanyaan besar yakni pemimpin seperti apakah yang dapat membuat rakyat
bersemangat dan bergairah untuk dapat berpartisipasi.
Di sini
kita membagi lagi sebuah pemimpin menjadi dua: Pemimpin formal dan pemimpin
informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang memperoleh jabatan karena adanya
legalisasi dari apa yang dipimpinnya, misalnya: Presiden, Menteri, dan lain
lain. Sedangkan pemimpin informal adalah orang-orang yang memiliki suara dan
kepercayaan dari sekelilingnya untuk membuat suatu kebijakan. Yang tentu saja
adalah sangat mungkin seorang pemimpin formal juga merupakan seorang pemimpin
informal. Pemimpin ini mempunyai legalitas sekaligus legitimasi pada dirinya.
Misalnya adalah dalam negara demokrasi di mana para pemimpin informal
(kepercayaan rakyat) menjadi seorang pemimpin formal (melalui legalitas
pemerintah) melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur dan adil.
Pemimpin inilah yang dapat menggerakkan partisipasi aktif dalam masyarakatnya.
2.3 Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
Indonesia
sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi yang sesuai dengan
Pancasila, dalam hal ini pemerintah Indonesia harus benar-benar mampu
manjalankan roda pemerintahan dengan sifat-sifat pemimpin yang sesuai dengan
sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan demokrasi merupakan sistem
pemerintahan dimana rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara,
pemerintah hanya sebagai pelaksana sistem pemerintahan dimana terpilihnya para
tokoh di pemerintahan merupakan hasil dari rakyat melalui pesta demokrasi yang
sering disebut Pemilu (Pemilihan Umum), dalam acara 5 tahun sekali rakyat
berbondong-bondong untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, yang
nantinya akan memimpin negara Indonesia. Pemerintahnya yang notabene adalah
berasal dari rakyat nantinya akan menjadi pelayan rakyat, dan berkewajiban
untuk bertanggung jawab atas berjalan atau tidaknya roda pemerintahannya.
Betapa
pentingnya pemahaman pemimpin tentang falsafah negaranya dikarenakan falsafah
negara merupakan pandangan hidup semua rakryat indonesia dan sebagai seorang
pemimpin, pemerintah harus mampu mengemban kewajiban untuk mewujudkan tujuan
bersama tersebut.
2.3.1 Model Kepemimpinan Presiden Indonesia
1.
Presiden
Soekarno,
Adalah bapak proklamator, seorang orator ulung
yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki
gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang
lembut dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir.
Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau
partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era
tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dari Ir. Soekarno adalah
percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya
akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi
panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan
Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat
(Amerika dan Eropa).
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama
kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas
masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang
mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik,
memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan
kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah
kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur
sentral dan kultus individu.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan
anti-kolonialisme yang pertama, baik di dalam negeri maupun untuk lingkup Asia,
meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya.
Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia
pasca-kolonial.
Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi
kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam
dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara
alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan elite gaya Soekarno
adalah "alle leden van de familie aan een eet-tafel" (semua anggota
keluarga duduk bersama di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah,
suku, golongan, dan juga partai.
2.
Presiden
Soeharto
Awal kenaikan
Soeharto menjadi presiden dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan G30S
tahun 1965, yang memperlemah posisi kekuasaan Soekarno sebagai presiden pada
saat itu karena adanya kecurigaan dari beberapa pimpinan militer tentang
keterlibatannya, dan berujung pada pencopotannya pada Maret 1967. Didukung oleh
dominasi kekuatan militer dan hancurnya kekuatan orde lama, Soeharto yang
menjabat presiden sementara segera melakukan konsolidasi kekuasaan, salah
satunya dengan mengangkat orang-orang yang mendukungnya untuk mengisi
jabatan-jabatan strategis.
Peralihan
kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto dapat dikaitkan dengan konsepsi tentang
kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Dalam pemikiran tradisional Jawa, kekuasan
bersifat konkrit dan jumlahnya selalu tetap di alam semesta. Maka, berkurangnya
kekuasaan pada seseorang berarti bertambahnya kekuasaan pada orang lain, dan sebaliknya,
seseorang bisa bertambah kekuasaannya ketika ada kekuasaan orang lain yang
berkurang. Dalam kasus Soeharto, berkurangnya kekuasaan Soekarno diikuti dengan
bertambahnya atau berpindahnya kekuasaan tersebut kepada Soeharto.
Salah satu bentuk
konsolidasi kekuasaan Soeharto di masa awal kepemimpinannya dengan menempatkan
orang-orang yang mendukungnya pada posisi-posisi strategis, khususnya dalam
struktur militer, juga memiliki kemiripan dengan salah satu bentuk pencapaian
kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa. Menurut Anderson, dalam tradisi
Jawa penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun
yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Ide tentang orang-orang di
sekeliling penguasa yang memperkuat posisi penguasa juga ditemukan dalam sebuah
bagian dalam pustaka klasik Jawa, Kartawijoga, yang menggambarkan negara yang
ideal dalam pandangan tradisional Jawa. “Ketentraman tidak pernah terusik,
karena negara tidak pernah terancam serbuan musuh dari luar, dan tidak satu pun
pembantu raja yang berkhianat.” Suasana stabilitas seperti itu jugalah yang
ditekankan selama pemerintahan orde baru Soeharto.
Kesigapan Soeharto
mengambil alih kekuasaan dan melakukan konsolidasi ketika kekuasaan Soekarno
mulai melemah juga dapat dipandang sebagai tindakan yang didasarkan pada
paradigma pemikiran tradisional Jawa. Dalam konsep kekuasaan Jawa, karena
jumlah kekuasaan bersifat tetap dan sumbernya bersifat homogen, maka usaha
untuk menghimpun kekuasaan menjadi masalah yang penting dan lebih pokok
daripada masalah bagaimana menggunakan kekuasaan tersebut. Kesigapan Soeharto
mengambil alih kekuasaan menunjukkan bahwa dia menganggap usaha memperoleh
kekuasaan sebagai masalah yang amat penting. Mengenai masalah penggunaan
kekuasaan, apakah Soeharto sejalan dengan konsep pemikiran tradisional Jawa
menganggapnya tidak lebih penting daripada masalah bagaimana menghimpunnya,
memerlukan kajian yang lebih dalam mengenai bagaimana Soeharto mengunakan
kekuasaannya selama 32 tahun jabatan kepresidenannya.
Soeharto sebagai
presiden melakukan penolakan terhadap demokrasi barat dan memberlakukan sistem
demokrasinya sendiri yang disebutnya Demokrasi Pancasila. Meskipun tetap
menggunakan istilah demokrasi, pada praktiknya Demokrasi Pancasila justru
banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum demokrasi. Rezim orde baru yang
dipimpin Soeharto justru bercirikan pemerintahan yang otoriter dan represif.
Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu suara rakyat, serta mengecilkan peran
berbagai lembaga demokrasi.
Ada kemiripan
antara kekuasaan Soeharto yang sentralistis dan mempersonal, dengan beberapa
prinsip yang ditemukan dalam pemikiran tradisional Jawa. Gaya kepemimpinan yang
sentralistis sangat umum ditemui dalam pemikiran politik tradisional Jawa
karena sifat dari pemikiran ini sendiri sangat berorientasi pada pusat
(centripetality).
Selain gaya
kepemimpinan yang sentralistis, gaya kepemimpinan yang mempersonal juga dapat
ditemukan dalam pemikiran politik tradisional Jawa. Individu pemimpin menjadi
sosok yang sangat dihormati dalam kebudayaan Jawa.
3.
Presiden BJ.
Habibie
Setelah memperoleh
kekuasaan sebagai presiden, Habibie segera membentuk kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya
yang singkat, ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi bangsa Indonesia. Pada
eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU
Partai Politik, dan yang paling penting adalah UU Otonomi Daerah. Melalui
penerapan UU Otonomi Daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era
Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU Otonomi Daerah bisa dipastikan Indonesia
akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Pengangkatan B.J.Habibie
sebagai presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi masyarakat
Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional.
Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945yang menyebutkan bahwa “bila
presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan
pihak yang kontra menganggap bahwa pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak
konstitusional. Hal ini bertentangan
dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “sebelum Presiden
memangku jabatan, maka Presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan
MPR atau DPR”.
Visi, misi, dan
kepemimpinan Presiden B.J. Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang
tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil
didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan
yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan
sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan.
Pola kepemimpinan Habibie
seperti itu dapat dimaklumi, mengingat latar belakang pendidikannya sebagai
doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat
demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan
yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan
ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam mengelola kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia
meningkatkan koordinasi dan menghapus egoisentrisme sektoral antar menteri.
Selain itu sejumlah
kreatifitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa.
Untuk mengatasi persoalan ekonomi misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi
utusan khusus, dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas
tersebut sangat penting , karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia
sesungguhnya pada masyarakat Internasional. Sementara itu pers khususnya pers
asing terkesan mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga
tidak seimbang dalam pemberitaan.
Setelah ia turun dari jabatannya sebagai Presiden ia lebih banyak di Jerman daripada di
Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali
aktif sebagai penasihat presiden untuk mengawal Demokratisasi di Indonesia
lewat organisasi yang didirikannya bernama Habiebie Center.
Selanjutnya BJ.
Habibie pada saat menduduki kursi kepresidenan, ia meminta ke sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, agar
mengadakan referendum bagi masyarakat Timor Timur (nama saat itu). Referendum
bermaksud untuk memberikan pilihan bebas bagi masyarakat Timor Timur, untuk
memilih otonomi dalam Indonesia atau merdeka. Pilihan bebas yang pada akhirnya
memberikan kebebasan kepada masyarakat Timor Timur, untuk menjadi sebuah negara
sendiri dengan nama Timor leste atau Democratic Republik of Timor Leste.
Permintaan politik dari Presiden BJ Habibie waktu itu, telah mengakhiri
berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di negara yang
dahulunya menjadi bagian dari Indonesia tersebut. Tindakan BJ Habibie tersebut
telah menyelamatkan banyak orang dari intervensi pelanggaran HAM yang mungkin
saja akan terus terjadi.
B.J Habibie
menetapkan berbagai kebijakan politik untuk menjamin adanya kebebasan
berpendapat dan menyuarakan pendapat di tempat umum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ia merupakan pemimpin yang membawa kebebasan rakyat, dari suasana
Orde Baru menuju suasana reformasi yang penuh dengan harapan.
4.
Abdurrahman
Wahid
Kita
mengenal sosok pemimpin seperti Gus Dur yang memberikan arah kepada kehidupan
bangsa akan kebebasan beragama dan
bernegara. Gus Dur selalu memperjuangkan kaum minoritas seperti Tionghoa agar
mendapat haknya sebagai warga negara Indonesia. Pada tanggal 10 Maret 2004 Gus Dur di nobatkan sebagai bapak Tionghoa
Indonesia, di Kelenteng Tay Kek Sie Semarang, sebagai bentuk penghargaan dari
etnis Tionghoa kepada dirinya. Penghargaan tersebut diberikan karena perjuangan
Gus Dur begitu gigih bagi etnis Tionghoa, agar mendapat posisi yang sama dengan
etnis lainnya, sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sehingga warga Indonesia yang beretnis
Tionghoa mendapatkan hak yang sama dalam
bernegara, baik dalam kebebasan bernegara, budaya, politik, pendidikan dan
sosial.
Pada
saat menjadi presiden bangsa Indonesia, Gus Dur menggunakan pakaian congsan,
baju kebesaran Tionghoa ia mengeluarkan perarturan pemerintahan no. 6 tahun
2000, yang menetapkan Imlek (Tahun Baru Cina) sebagai hari libur nasional,
sebagaimana hari raya agama-agama lainnya di Indonesia.
Gus Dur
memberikan cara pandangan baru kepada masyarakat Indonesia dalam kebebasan
bernegara dan kebebasan beragama. Ia memiliki kedekatan yang harmonis dengan
siapapun, dan berusaha menciptakan kedamaian dalam keharmonisan kehidupan
bersama.
5.
Megawati
Soekarno Putri
Megawati merupakan
presiden perempuan pertama Indonesia yang menjabat pada dekade 2001-2004 dan
merupakan simbol kesetaraan gender pada bidang politik di Indonesia.
Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan, tetapi
dalam hal-hal tertentu Megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya.
Misalnya, mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM, dam pemberlakuan
darurat militer di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Gaya kepemimpinan Megawati
yang anti kekerasan sangat tepat untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang
mamanas kala itu. Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya
ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang suatu keputusan yang akan di
ambilnya. Namun, begitu keputusan itu di ambil tidak akan berubah lagi. Gaya
kepemimpinan seperti itu bukanlah suatu kelemahan. Cukup demokratis, tetapi
pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik.
Kepemimpinan yang
berkarakter dan visioner tersebut terlihat juga dalam ketegangannya dalam
menolak sebuah grasi para terpidana mati dalam kasus narkoba. Megawati
mengakui, sebagai seorang ibu hatinya menangis ketika mengambil keputusan untuk
menolak grasi tersebut. Namun, demi masa depan generasi penerus bangsa, ia
harus mengambil keputusan yang secara nurani tidak dikehendakinya. Selain itu,
karakteristik kepemimpinannya yang sangat kuat terlihat juga dari beberapa
keputusannya yang tidak populis, seperti keputusan mengenai kenaikan harga BBM
yang mengikuti standar nilai dan harga di dunia internasional. Keputusan itu
tidak begitu saja diterima oleh masyarakat luas. Hal ini ditunjukkan dengan
demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa saat itu yang menolak secara tegas
kenaikan harga BBM.
6.
Susilo
Bambang Yudhoyono.
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono bertipe militeristik. Hal ini disebabkan karena yang
mempengaruhi corak kepemimpinan seseorang bisa berupa pendidikan dan
pengalaman. Dari segi pendidikan dan pengalaman inilah yang
mengindikasikan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono memiliki gaya militeristik.
Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono telah lama menyesuaikan diri dengan
kepemimpinan sipil yang egaliter dan demokratis tetapi budaya militer sebagai
dasar pembentukan karakter kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tidak
bisa hilang begitu saja. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa contoh kasus
gaya kepemimpinan militeristik Susilo Bambang Yudhoyono yang masih
melekat, seperti beberapa kali memarahi menterinya didepan umum,
memarahi para bupati dan walikota seluruh Indonesia yang tidur
ketika Susilo Bambang Yudhoyono sedang berpidato.
Selain itu gaya
militeristik Susilo Bambang Yudhoyono tergambar dari
tindakan-tindakannya dalam pelaksanaan administrai negara yang formalitas dan
kaku. Ini merupakan salah satu karakteristik dari gaya kepemimpinan
militeristik yaitu segala sesuatu bersifat formal. Terlihat dari
pelaksanaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berjalan
dengan prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai dengan peraturan artinya setiap
pikiran baru harus bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah
dulu, terobosan menjadi barang langka.
Pak Susilo
Bambang Yudhoyono berbeda dengan yang lain, karena beliau memiliki
kharisma yang berkarakter. Karakter seorang pemimpin masa depan yang mampu
memimpin rakyatnya dengan baik. Karisma beliau bukan hanya tebar pesona tetapi
karisma yang ada dalam diri beliau adalah karisma yang telah menyatu karena
memiliki kepribadian yang unggul. Unggul dalam segala bidang. Baik bidang
ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, ataupun pendidikan.
Kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono juga masuk dalam tipe demokratik mungkin disebabkan
karena tuntutan reformasi, situasi dan kondisi saat ini yang semakin liberal.
Dimana tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil keputusan selalu mengajak
beberapa perwakilan bawahan, namun keputusan tetap berada di tangannya.
Selain itu pemimpin yang demokratis berusaha mendengar berbagai pendapat,
menghimpun dan menganalisa pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian mengambil
keputusan yang tepat. Tidak jarang hal ini menimbulkan persepsi bahwa
beliau seorang yang lambat dalam mengambil keputusan dan
tidak jarang mengurangi tingkat determinasi dalam mengambil
keputusan. Pemimpin ini kadang tidak kokoh ketika melaksanakan keputusan karena
ia kadang goyah memperoleh begitu banyak masukan dalam proses implementasi
kebijakan.
Secara teoritis
pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik dibalas pula dengan kontra
kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana
beliau melakukan kontra kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya.
Pak Susilo Bambang Yudhoyono percaya bahwa kebenaran hanya bisa
diperoleh dari wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin elemen
masyarakat. Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan
berorientasi pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran
dari manapun.
BAB III
PENUTUPAN
3.1
Kesimpulan
Dalam
kepemimpinan Pancasilan, Pancasila dapat dipakai sebagai moral bangsa. Uraian
mengenai kelima sila dari pancasila; Ketuhanan
yang maha esa maksudnya orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang
maha Esa dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab maksudnya
tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama manusia tanpa ada
diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Persatuan Indonesia maksudnya cinta
tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi, memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan maksudnya bersifat demokratis, bersemangat
gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maksudnya hidup
sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain,
menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang lebih merata di segala
bidang kehidupan
Kepemimpinan
pembangunan, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan
pembangunan dan para pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu; Kepemimpinan
dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu
pancasila; Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan
pembangunan yang ingin dicapai; Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu
menggali intisari dari nilai-nilai tradisional kuno yang tinggi peninggalan
para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai
positif dari modernisme, dalam kepemimpinan Indonesia.
Model Kepemimpinan Presiden
Indonesia, Presiden Soekarno adalah
bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat
nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat
populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai
keindahan. Presiden Soeharto, sebagai presiden melakukan penolakan terhadap demokrasi
barat dan memberlakukan sistem demokrasinya sendiri yang disebutnya Demokrasi
Pancasila. Meskipun tetap menggunakan istilah demokrasi, pada praktiknya
Demokrasi Pancasila justru banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum
demokrasi. Rezim orde baru yang dipimpin Soeharto justru bercirikan
pemerintahan yang otoriter dan represif. Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu
suara rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi.
Presiden
BJ. Habibie, setelah memperoleh
kekuasaan sebagai presiden, Habibie segera membentuk kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi. Abdurrahman
Wahid, kita
mengenal sosok pemimpin seperti Gus Dur yang memberikan arah kepada kehidupan
bangsa akan kebebasan beragama dan
bernegara. Gus Dur selalu memperjuangkan kaum minoritas seperti Tionghoa agar
mendapat haknya sebagai warga negara bangsa Indonesia. Megawati
Soekarno Putri, merupakan presiden perempuan pertama Indonesia yang
menjabat pada dekade 2001-2004 dan merupakan simbol kesetaraan gender pada
bidang politik di Indonesia. Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam
menghadapi persoalan, tetapi dalam hal-hal tertentu Megawati memiliki
determinasi dalam kepemimpinannya. Susilo Bambang Yudhoyono, bertipe
militeristik, dilihat dari latar belakang pendidikannya, beliau juga pemimpin
yang berkarisma dan demokratis.
3.2
Saran
Indonesia
membutuhkan pemimpin yang memimpin, bukan pemimpin yang dipimpin. Pemimpin yang
independen, merdeka tanpa ada tekanan dari pihak-pihak yang mencari keuntungan
pribadi. Pemimpi yang kuat, tangguh, jika saja indonesia memiliki pemimpin yang
sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita
tergantung pada pemimpin, pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin
sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi
mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita.
Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin. Selain itu juga menjadi
seorang pemimpin itu adalah amanah, begitu juga dengan para elite politik yang
duduk di struktur formal pemerintahan, mereka memperoleh jabatan karena rakyat
telah memberikan kepercayaan. Maka sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menyingkirkan apa saja yang akan membuat
murka hati rakyat dan menjauhkan
diri dari apa saja yang akan
membuat rakyat menaruh benci. Pemimpin itu harus merakyat dan tidak menaruh jarak dengan rakyat, karena
adanya jarak akan mempersempit pengetahuan tentang kondisi rakyat.
Ricky, Arnold Nggili. 2016. Structural or Non Structural Leadership. Jakarta: Guepedia
Sejati, Dwi Fajar. 2015. RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) SD Kelas 4,5,& 6.
Jakarta: Cmedia
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar