Minggu, 25 Desember 2016

Makalah Kepemimpinan Pancasila, Kepemimpinan Pembangunan, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
            Pada sebuah organisasi perusahaan atau pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas dan penyelenggaraan, dipengaruhi kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas organisasi yang memadai, maka penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik akan terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan salah satu sebab keruntuhan kinerja organisasi di indonesia. Kepemimpinan dapat dikatakatakan sebagai cara dari seorang pemimpin dalam mengarahkan, mendorong dan mengatur seluruh unsur-unsur didalam kelompok atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang diinginkan sehingga menghasilkan kinerja pegawai berarti tercapainya hasil kerja seseorang atau pegawai dalam mewujudkan tujuan organisasi tersebut. Kepemimpinan yang efektif sangat dipengaruhi oleh kepribadian pemimpin. Setiap pemimpin perlu memiliki aspek-aspek kepribadian yang dapat menunjang usahanya dalam mewujudkan hubungan manusia yang efektif dengan anggota organisasinya.
            Ada pun konsep kepemimpinan pemerintahan di Indonesia yaitu yang pertama adalah Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila untuk mencapai tujuan nasional. Yang kedua adalah Kepemimpinan Pembangunan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu pembangunan yang bersifat materiil (misalnya pembangunan ekonomi) dan pembangunan yang bersifat spiritual (kemajuan kualitas tiap individu), di mana kedua macam pembangunan tersebut memiliki resiko masing-masing apabila tidak dilaksanakan atau sedikit diabaikan. Kinerja pemerintahan yang belum optimal pada akhirnya akan menyebabkan gagalnya negara dalam menjaga dan mengelola sumber daya pembangunan maupun pencapaian tujuan negara itu sendiri.

1.2       Rumusan Masalah
1.      Jelaskan yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pancasila!
2.      Jelaskan yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pembangunan!
3.      Bagaimana kepemimpinan pemerintahan di Indonesia?

1.3       Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pancasila.
2.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Kepemimpinan Pembangunan.
3.      Untuk mengetahui kepemimpinan pemerintahan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Kepemimpinan Pancasila                
2.1.1    Pengertian Kepemimpinan Pancasila
            Menurut Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan yang berasas, berjiwa, dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan universal.
            Adapun nilai-nilai budaya nusantara meliputi keterjalinan hidup manusia dengan Tuhannya, keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan alam, kerukunan dan mempertemukan cita-cita hidup di dunia dan akhirat. Nilai-nilai kemajuan universal meliputi pendayagunaan Sains dan Teknologi secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa disegala aspek kehidupan.
            Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila. Kepemimpinan Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila untuk mencapai tujuan nasional.
            Kepemimpinan Pancasila adalah suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan Indonesia, sehingga dalam kepemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
            Agar mampu melaksanakan tugas kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Dia harus memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bila dibanding dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan ini terutama meliputi segi teknis, moral, dan semangat juangnya.


Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.        Sehat jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2.        Memiliki integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab, dan susila.
3.        Rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya.
4.        Memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat, efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi, dan mampu memberikan motivasi yang baik kepada bawahan.
5.        Mampu menilai dan membedakan aspek yang positif dari yang negatif dari setiap pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak.
Pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral pancasila dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional antara sebagai berikut :
1.        Yang dimaksud dengan pancasila adalah pancasila yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, berupa kesatuan bulat dan utuh dari kelima sila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.        Nilai-nilai tersebut harus dihayati, yaitu diresapi serta diendapkan dalam hati dan kalbu, sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diramalkan dengan kesungguhan hati dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat, (sekaligus menjadi dasar negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun damai bersama-sama.
3.         Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Kebebasan beragama itu bukan pemberian negara dan bukan pula pemberian golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.
Pancasila juga dapat dipakai sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima sila dari pancasila secara ringkas adalah sebagai berikut :
1.        Ketuhanan yang maha esa.
       Orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang maha Esa dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Jadi ada sikap hormat menghormati dan kerukunan hidup beragama dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan.
2.        Kemanusiaan yang adil dan beradab.
       Tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati, mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
3.        Persatuan Indonesia.
       Cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
4.        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.   
       Bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan, juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati nurani luhur.
5.        Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
       Hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan. Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin.
            Selanjutnya, kepemimpinan pancasila ialah bentuk kepemimpinan yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai luhur dari norma-norma pancasila, semangat kepemimpinan Pancasila itu dapat terwujudkan, apabila nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dapat dipadukan dengan nilai-nilai modernisasi yang positif, antara lain dengan ciri-ciri demokratis, rasional, kritis, efisien-efektif dan berdisiplin tinggi.
            Kepemimpinan Pancasila dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang dijiwai Pancasila, disemangati azas kekeluargaan,  memancarkan wibawa serta menumbuhkan daya mampu untuk membawa serta masyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
            Kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan moderen, kepemimpinan Pancasila perlu memiliki ciri-ciri tentang sifat kepemimpinan modern. Di antara sifat-sifat kepemimpinan modern adalah sebagai berikut:
a.         Berorientasi jauh ke depan
       Dalam menentukan kebijaksanaan dan memecahkan persoalan, masa yang akan datang selalu diperhitungkan. Karena kita bukan hidup untuk masa lampau, tetapi hidup untuk menyongsong masa yang akan datang.
b.        Berlandaskan pola pikir ilmiah
       Dalam mengambil keputusan mengikuti penentuan masalah/problem, penentuan data/informasi yang diperlukan, pengumpulan data dan informasi, analisis data, penarikan simpulan. Dengan demikian, dihindari pengambilan keputusan yang didasarkan pada emosi atau intuisi semata-mata ataupun situasi senang dan tidak senang.
c.         Berpegang pada prinsip efesien dan efektif
       Menentukan cara yang perlu diambil dalam menyelesaikan suatu kegiatan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, biaya, sarana dan tenaga yang minimal tetapi tercapai hasil yang maksimal. Cara ini perlu dipadukan dengan nilai atau azas Pancasila sehingga tercapai keselarasan,  keserasian dan keseimbangan.

Kepemimpinan pancasila, teori ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada nilai-nilai pancasila seperti yang dijelaskan oleh lima sila yang ada pada ideologi negara ini. Kepemimpinan pancasila menurut Drs. Sukarna dalam bukunya yang berjudul “kepemimpinan dalam administrasi Negara” adalah kepemimpinan yang Thesis (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa), kepemimpinan yang humanis (memiliki rasa kemanusian), kepemimpinan yang demokratis, kepemimpinan yang runitaris (mempersatukan) dan kepemimpinan yang sosial justice ( kepemimpinan yang berkeadilan).
Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan sebagai berikut:
1.        Kepemimpinan Thesis atau yang berketuhanan Yang Maha Esa
Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa. Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajaran agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin yang seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah diterapkan karena merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya Islam dengan gaya nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh panutannya yaitu Jesust Crist, serta Hindu dan Budha dengan Dewa yang mereka yakini sebagai tokoh panutan dalam bertindak.
2.        Kepemimpinan yang humanis
Kepemimpinan model ini berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika sosial yang kuat dan menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata, namun adil sesuai dengan hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari para pemimpin model ini.
3.        Kepemimpinan yang unitaris atau nasionalis
Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 ini yaitu persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi dari setiap inividu ditujukan kepada kepribadian bangsa. Ada 4 fungsi nasionalisme bagi kepemimpinan administratif menurut Drs. Sukarna, yaitu:
a.         Mempersatukan seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan bangsa Indonesia
b.         Mengeliminasi dominasi asing, ataupun yang bersifat asing dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya
c.         Mempertahankan kepribadian bangsa indonesia di tengah-tengah percaturan global
d.         Mengusahakan gengsi dan pengaruh dalam dunia internasional
Kepemimpinan yang menyatukan yang menjadikan perbedaan itu ke suatu arah tujuan bersama itulah ide utama dari kepemimpinan tipe ini, dengan perbedaan yang ada kita tetap teguh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan acaman dari luar. Esensinya bahwa rasa cinta pada negeri yang rasional dan kemampuan untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam masyarakatnya. Kepemimpinan tipe ini harus bebas dari primordial yang sempit, harus mempunyai wawasan nusantara yang mendalam, agar tidak terpengaruhi oleh iming-iming asing yang menggoda sesaat.
4.        Kepemimpinan demokratik
Kepemimpinan administratif yang mengacu pada sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis pancasila. Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang demokratis pancasila ini menurut Drs. Sukarna adalah sebagai berikut:
a.         Kepemimpinan administartif tunduk dan taat kepada kehendak serta aspirasi-aspirasi rakyat di dalam segala bidang baik yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
b.         Kepemimpinan administratif selalu melaksanakan amanat rakyat yang tertuang dalam falsafah hidupnya sendiri, UUD dan aturan lain yang ada dibawahnya yang merupakan aspirasi dan suara rakyat
c.          Kepemimpinan demokratik selalu menjunjung tinggi falsafah”ambeg paramarta” yaitu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, bukan otoriter atau tirani
d.         Kepemimpinan demokratik harus menjunjung tinggi penegakan hukum, karena negara kita adalah negara hukum
e.         Kepemimpinan administratif mempunyai kewajiban untuk menegakan HAM 
f.          Kepemimpinan yang demokratik pada dasarnya tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan, namun menyerahkannya kepada pembagian yang proporsional.
5.        Kepemimpinan social justice
Kepemimpinan yang didasarkan pada sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Kepemimpinan berkeadilan itulah konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini bukan sama rata dan sama rasa, namu lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan kewajibannya, harus proporsional, oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan ini perlu strategi yang tepat untuk mengasah kemampuan membuat suatu kebijaksanaan yang benar-benar bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini harus pandai membaca situasi, harus pandai mencari kearifan dan menemukan hal-hal yang tidak pernah dikemukakan orang lain yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Ada beberapa ciri-ciri kepemimpinan yang berkeadilan (Sukarna, 2006,75), yaitu:
a.         Kepemimpinan selalu mendahulukan kepentingan orang yang mengikutinya atau kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok.
b.         Tidak bersifat nepotisme atau mendahulukan orang-orang terdekat dalam setiap pengambilan.
c.          Mampu menegakkan keadilan.
d.        Tidak mungkin mewujudkan keadilan sosial jika dalam suatu negara atau suatu organisasi yang pemimpinnya menganut paham otoriterisme, karena dalam konsep otoriterisme tidak mengenal keadilan model ini.
e.         Menempatkan pengikutnya diatas segalanya, karena dia sebagai pelayan pengikutnya.
2.1.2    Azas-Azas Kepemimpinan Pancasila
Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola pikir modern dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai berikut:
1.        Azas Kebersamaan
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan Pancasila hendaknya:
a.         Pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi
b.         Pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin
c.         Pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi
d.        Pemimpin dan yang dipimpin bukan unsur yang saling bertentangan sehingga tidak terjadi dualisme
e.         Masing-masing unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golongan yang paling kuat, tetapi juga tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat
f.          Tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin
2.        Azas Kekeluargaan dan Kegotong-royongan
Ciri-ciri kekeluargaan dan Kepemimpinan Pancasila, di antaranya:
a.          Timbul kerjasama yang akrab
b.          Kesejahteraan dan kebahagiaan bersama yang menjadi titik tumpu
c.          Berlandaskan kasih sayang dan pengorbanan
3.        Azas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan
Kita semua sadar akan kebhinekaan Bangsa Indonesia, baik dari segi suku, bangsa, adat istiadat, agama, aliran dan sebagainya. Namun keanekaragaman itu, masing-masing diakui keberadaannya sendiri-sendiri dan ciri-ciri kepribadiannya dalam persatuan dan kesatuan ibarat bunga setaman dalam satu jambangan, terdiri dari jenis bunga mawar, melati dan kenanga. Masing-masing tetap dikenal sebagai jenis bunga, tetapi baru akan dinamakan bunga setaman bila ketiga-ketiganya ada dalam jambangan tersebut, sehingga bunga setaman ini merupakan suatu kesatuan. Melati tidak mengharapkan agar mawar dan kenanga berubah menjadi melati semua. Sebaliknya mawar pun tidak akan memaksa melati supaya berubah menjadi mawar. Bila tidak demikian,  maka tidak akan berbentuk bunga setaman.
4.        Azas Selaras, Serasi dan Seimbang
Semua azas tersebut di atas harus dijiwai dan disemangati oleh azas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, azas yang tidak mencari menangnya sendiri, adu kekuatan, atau timbul kontradiksi, konflik dan pertentangan. Adanya perbedaan keanekaragaman adalah mencerminkan kodrat alam yang masing-masing memiliki tempat. Kedudukan dan kewajiban serta fungsinya sendiri-sendiri. Dengan adanya berbagai warna seperti biru, hijau, merah, kuning, jingga dan sebagainya akan memberikan kesan yang indah apabila tersusun secara tepat. Komposisi warna yang tepat akan menimbulkan suasana indah yang akan menumbuhkan ketentraman batin. Di negara Indonesia, setiap warga negara diharapkan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila. Seorang pemimpin diharapkan menjadi contoh teladan serta panutan orang-orang yang dipimpinnya, mau tidak mau harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan Pancasila. Ia harus melaksanakan butir-butir yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan dengan  nilai-nilai tersebut.
2.2       Kepemimpinan Pembangunan
Pada zaman yang modern ini, semua negara di dunia nampak ramai bersaing untuk dapat menjadi negara yang maju dan sejahtera. Pembangunan nasional merupakan sebuah topik yang hangat dan ramai diperbincangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena pembangunan dapat dikatakan syarat mutlak agar suatu negara bisa berkembang. Salah satu mosi yang banyak diperdebatkan saat ini adalah wacana mengenai keharusan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.
            Selanjutnya, di alam kemerdekaan dan pembangunan sekarang, berhasilnya pembangunan nasional sangat bergantung pada ikut sertanya seluruh rakyat Indonesia yang memiliki sikap, mental, tekad, semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Untuk hal ini perlu dibangkitkan motivasi membangun di kalangan masyarakat luas, dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinan (local, regional maupun nasional). Sebab dengan keteladanan yang utama atas dasar pengorbanan dan pengabdian pada kepentingan rakyat banyak, maka segenap rakyat kecil akan rela berperan serta dalam usaha pembangunan. Dengan demikian, dalam era pembangunan sekarang diperlukan tipe kepemimpinan penggugah/stimulator dinamisator untuk menggairahkan semangat pembangunan di segala bidang kehidupan.
            Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan pembangunan dan para pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu :
a.         Kepemimpinan dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu pancasila.
b.        Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Khususnya menyadari makna pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan fisik, demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan riil dari rakyat, serta peningkatan kehidupan bangsa atas asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, demokrasi, serta prinsip adil dan adil.
c.         Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan Indonesia.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional merupakan transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dari penjabaran di atas, dapat kita tarik beberapa poin penting mengenai pembangunan. Salah satunya adalah bahwa pembangunan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua : Pembangunan yang bersifat materiil (misalnya pembangunan ekonomi) dan pembangunan yang bersifat spiritual (kemajuan kualitas tiap individu), di mana kedua macam pembangunan tersebut memiliki resiko masing-masing apabila tidak dilaksanakan atau sedikit diabaikan.
Bagi negara maju, pelaksanaan pembangunan di kedua bidang tersebut secara bersamaan mungkin bukanlah sebuah hal yang sulit dilaksanakan melihat pada dasarnya mereka sudah memiliki sumber daya yang diperlukan. Pada negara maju, perekonomian cenderung sudah stabil dan mandiri. Kemampuan masyarakat negara maju pun secara umum, misalnya kita lihat dari bidang pendidikan, adalah rata-rata lebih tinggi. Masyarakatnya pun adalah masyarakat yang kritis serta aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Polemik terjadi dalam negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Sudah 71 tahun kita merdeka, perkembangan yang telah kita capai masih belum jelas terasa. Bahkan dapat dikatakan sudah tertinggal jauh dibanding negara lain yang usianya dapat dikatakan lebih muda daripada kita. Berbagai kalangan telah berusaha mengkaji dan berdiskusi mengenai pembangunan di bidang apakah yang harus kita prioritaskan. Kemajuan dalam sektor ekonomi tentu tidak akan maksimal tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Dan sumber daya yang berkualitas tidak akan berkembang lebih baik lagi tanpa adanya fasilitas memadai yang disediakan oleh negara. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebuah pembangunan, bagaimanapun sifatnya, tidak dapat meninggalkan satu sama lain. Dengan kata lain, pembangunan yang paling ideal adalah sebuah pembangunan yang dilaksanakan secara bersama-sama baik di bidang materiil dan spiritual, yang tentunya merupakan sebuah tantangan besar bagi semua negara berkembang.
Sebuah negara pasti ada karena adanya partisipasi dari masyarakatnya. Dalam melaksanakan suatu pembangunan, suatu negara diberikan pilihan mengenai teknik apakah yang akan mereka gunakan. Untuk lebih mudahnya, kita dapat mengambil contoh dari negara-negara lain.
Ada negara yang memilih untuk menjalankan sebuah pembangunan dengan cara sentralisasi. Semua kegiatan dan kebijakan dilakukan oleh pemerintah sedangkan rakyat hanyalah sebagai partisipan pasif, pelaksana kebijakan pemerintah. Cara ini memerlukan kesungguhan serta paksaan dari pemerintah serta adanya kepatuhan dari masyarakatnya.
Namun masih ada satu cara lagi untuk melaksanakan pembangunan. Apabila cara di atas lebih menekankan pada keberadaan sebuah kekuasaan yang memaksa, kita juga dapat melakukan sebuah pemerintahan dengan kekuatan yang sifatnya adalah persuasi kepada rakyat dengan menggunakan nilai-nilai asli yang terdapat dalam masyarakat tersebut (partisipasi masyarakat).
Kedua metode tersebut tentunya bila dilaksanakan dapat membawa perkembangan yang positif bagi suatu negara yang tentu saja tingkat keberhasilan dari diterapkannya metode tersebut tergantung dengan kondisi negara setempat. Bila kita tinjau dari resiko yang akan kita hadapi, penggunaan metode paksaan pada umumnya lebih beresiko karena metode ini lebih mengutamakan pada pembangunan sektor ekonomi sedangkan rakyat tidak terlalu berkembang. Gejolak-gejolak dan sengketa sosial lebih rawan terjadi terlebih karena metode ini adalah sangat rawan dengan absolutisme pemimpin sehingga keinginan dan aspirasi masyarakat sangat sedikit yang dapat terjaring.
Sebaliknya, dalam metode partisipasi, resiko demikian jauh lebih kecil dan pemerintahan berjalan secara relatif lancar. Kemudian bila kita lihat, dalam taraf tertentu suatu pembangunan pasti akan membutuhkan partisipasi tenaga-tenaga manusia yang kreatif. Maka dapat kita simpulkan bahwa pembangunan dengan adanya partisipasi aktif dalam masyarakat akan lebih dapat menjamin keselarasan atau kontinuitas gerak pembangunan sendiri.
Maka apabila pembangunan hendak dilakukan secara seimbang, yakni dengan partisipasi masyarakat secara aktif, kita sampai kepada sebuah pertanyaan besar yakni pemimpin seperti apakah yang dapat membuat rakyat bersemangat dan bergairah untuk dapat berpartisipasi.
Di sini kita membagi lagi sebuah pemimpin menjadi dua: Pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang memperoleh jabatan karena adanya legalisasi dari apa yang dipimpinnya, misalnya: Presiden, Menteri, dan lain lain. Sedangkan pemimpin informal adalah orang-orang yang memiliki suara dan kepercayaan dari sekelilingnya untuk membuat suatu kebijakan. Yang tentu saja adalah sangat mungkin seorang pemimpin formal juga merupakan seorang pemimpin informal. Pemimpin ini mempunyai legalitas sekaligus legitimasi pada dirinya. Misalnya adalah dalam negara demokrasi di mana para pemimpin informal (kepercayaan rakyat) menjadi seorang pemimpin formal (melalui legalitas pemerintah) melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur dan adil. Pemimpin inilah yang dapat menggerakkan partisipasi aktif dalam masyarakatnya.
2.3       Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
            Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, dalam hal ini pemerintah Indonesia harus benar-benar mampu manjalankan roda pemerintahan dengan sifat-sifat pemimpin yang sesuai dengan sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, pemerintah hanya sebagai pelaksana sistem pemerintahan dimana terpilihnya para tokoh di pemerintahan merupakan hasil dari rakyat melalui pesta demokrasi yang sering disebut Pemilu (Pemilihan Umum), dalam acara 5 tahun sekali rakyat berbondong-bondong untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, yang nantinya akan memimpin negara Indonesia. Pemerintahnya yang notabene adalah berasal dari rakyat nantinya akan menjadi pelayan rakyat, dan berkewajiban untuk bertanggung jawab atas berjalan atau tidaknya roda pemerintahannya.
Betapa pentingnya pemahaman pemimpin tentang falsafah negaranya dikarenakan falsafah negara merupakan pandangan hidup semua rakryat indonesia dan sebagai seorang pemimpin, pemerintah harus mampu mengemban kewajiban untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut.

2.3.1    Model Kepemimpinan Presiden Indonesia
1.        Presiden Soekarno,
Adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dari Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus individu.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dalam negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial.
Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di dunia. Prinsip politik mempersatukan elite gaya Soekarno adalah "alle leden van de familie aan een eet-tafel" (semua anggota keluarga duduk bersama di satu meja makan). Dia memperhatikan asal-usul daerah, suku, golongan, dan juga partai.
2.        Presiden Soeharto
Awal kenaikan Soeharto menjadi presiden dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan G30S tahun 1965, yang memperlemah posisi kekuasaan Soekarno sebagai presiden pada saat itu karena adanya kecurigaan dari beberapa pimpinan militer tentang keterlibatannya, dan berujung pada pencopotannya pada Maret 1967. Didukung oleh dominasi kekuatan militer dan hancurnya kekuatan orde lama, Soeharto yang menjabat presiden sementara segera melakukan konsolidasi kekuasaan, salah satunya dengan mengangkat orang-orang yang mendukungnya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto dapat dikaitkan dengan konsepsi tentang kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Dalam pemikiran tradisional Jawa, kekuasan bersifat konkrit dan jumlahnya selalu tetap di alam semesta. Maka, berkurangnya kekuasaan pada seseorang berarti bertambahnya kekuasaan pada orang lain, dan sebaliknya, seseorang bisa bertambah kekuasaannya ketika ada kekuasaan orang lain yang berkurang. Dalam kasus Soeharto, berkurangnya kekuasaan Soekarno diikuti dengan bertambahnya atau berpindahnya kekuasaan tersebut kepada Soeharto.
Salah satu bentuk konsolidasi kekuasaan Soeharto di masa awal kepemimpinannya dengan menempatkan orang-orang yang mendukungnya pada posisi-posisi strategis, khususnya dalam struktur militer, juga memiliki kemiripan dengan salah satu bentuk pencapaian kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa. Menurut Anderson, dalam tradisi Jawa penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Ide tentang orang-orang di sekeliling penguasa yang memperkuat posisi penguasa juga ditemukan dalam sebuah bagian dalam pustaka klasik Jawa, Kartawijoga, yang menggambarkan negara yang ideal dalam pandangan tradisional Jawa. “Ketentraman tidak pernah terusik, karena negara tidak pernah terancam serbuan musuh dari luar, dan tidak satu pun pembantu raja yang berkhianat.” Suasana stabilitas seperti itu jugalah yang ditekankan selama pemerintahan orde baru Soeharto.
Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan dan melakukan konsolidasi ketika kekuasaan Soekarno mulai melemah juga dapat dipandang sebagai tindakan yang didasarkan pada paradigma pemikiran tradisional Jawa. Dalam konsep kekuasaan Jawa, karena jumlah kekuasaan bersifat tetap dan sumbernya bersifat homogen, maka usaha untuk menghimpun kekuasaan menjadi masalah yang penting dan lebih pokok daripada masalah bagaimana menggunakan kekuasaan tersebut. Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan menunjukkan bahwa dia menganggap usaha memperoleh kekuasaan sebagai masalah yang amat penting. Mengenai masalah penggunaan kekuasaan, apakah Soeharto sejalan dengan konsep pemikiran tradisional Jawa menganggapnya tidak lebih penting daripada masalah bagaimana menghimpunnya, memerlukan kajian yang lebih dalam mengenai bagaimana Soeharto mengunakan kekuasaannya selama 32 tahun jabatan kepresidenannya.
Soeharto sebagai presiden melakukan penolakan terhadap demokrasi barat dan memberlakukan sistem demokrasinya sendiri yang disebutnya Demokrasi Pancasila. Meskipun tetap menggunakan istilah demokrasi, pada praktiknya Demokrasi Pancasila justru banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum demokrasi. Rezim orde baru yang dipimpin Soeharto justru bercirikan pemerintahan yang otoriter dan represif. Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu suara rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi.
Ada kemiripan antara kekuasaan Soeharto yang sentralistis dan mempersonal, dengan beberapa prinsip yang ditemukan dalam pemikiran tradisional Jawa. Gaya kepemimpinan yang sentralistis sangat umum ditemui dalam pemikiran politik tradisional Jawa karena sifat dari pemikiran ini sendiri sangat berorientasi pada pusat (centripetality).
Selain gaya kepemimpinan yang sentralistis, gaya kepemimpinan yang mempersonal juga dapat ditemukan dalam pemikiran politik tradisional Jawa. Individu pemimpin menjadi sosok yang sangat dihormati dalam kebudayaan Jawa.
3.        Presiden BJ. Habibie
Setelah memperoleh kekuasaan sebagai presiden, Habibie segera membentuk kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya yang singkat, ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi bangsa Indonesia. Pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik, dan yang paling penting adalah UU Otonomi Daerah. Melalui penerapan UU Otonomi Daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU Otonomi Daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Pengangkatan B.J.Habibie sebagai presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945yang menyebutkan bahwa “bila presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak konstitusional.  Hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “sebelum Presiden memangku jabatan, maka Presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR”.
Visi, misi, dan kepemimpinan Presiden B.J. Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan.
Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi, mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egoisentrisme sektoral antar menteri.
Selain itu sejumlah kreatifitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa. Untuk mengatasi persoalan ekonomi misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus, dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting , karena salah satu kelemahan pemerintah adalah  kurang menjelaskan keadaan Indonesia sesungguhnya pada masyarakat Internasional. Sementara itu pers khususnya pers asing terkesan mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan.  Setelah ia turun dari jabatannya sebagai Presiden  ia lebih banyak di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasihat presiden untuk mengawal Demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya bernama Habiebie Center.
Selanjutnya BJ. Habibie pada saat menduduki kursi kepresidenan, ia meminta  ke sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, agar mengadakan referendum bagi masyarakat Timor Timur (nama saat itu). Referendum bermaksud untuk memberikan pilihan bebas bagi masyarakat Timor Timur, untuk memilih otonomi dalam Indonesia atau merdeka. Pilihan bebas yang pada akhirnya memberikan kebebasan kepada masyarakat Timor Timur, untuk menjadi sebuah negara sendiri dengan nama Timor leste atau Democratic Republik of Timor Leste. Permintaan politik dari Presiden BJ Habibie waktu itu, telah mengakhiri berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di negara yang dahulunya menjadi bagian dari Indonesia tersebut. Tindakan BJ Habibie tersebut telah menyelamatkan banyak orang dari intervensi pelanggaran HAM yang mungkin saja akan terus terjadi.
B.J Habibie  menetapkan berbagai kebijakan politik untuk menjamin adanya kebebasan berpendapat dan menyuarakan pendapat di tempat umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia merupakan pemimpin yang membawa kebebasan rakyat, dari suasana Orde Baru menuju suasana reformasi yang penuh dengan harapan.
4.        Abdurrahman Wahid
Kita mengenal sosok pemimpin seperti Gus Dur yang memberikan arah kepada kehidupan bangsa  akan kebebasan beragama dan bernegara. Gus Dur selalu memperjuangkan kaum minoritas seperti Tionghoa agar mendapat haknya sebagai warga negara Indonesia. Pada tanggal 10 Maret 2004  Gus Dur di nobatkan sebagai bapak Tionghoa Indonesia, di Kelenteng Tay Kek Sie Semarang, sebagai bentuk penghargaan dari etnis Tionghoa kepada dirinya. Penghargaan tersebut diberikan karena perjuangan Gus Dur begitu gigih bagi etnis Tionghoa, agar mendapat posisi yang sama dengan etnis lainnya, sebagai bagian dari bangsa Indonesia.  Sehingga warga Indonesia yang beretnis Tionghoa  mendapatkan hak yang sama dalam bernegara, baik dalam kebebasan bernegara, budaya, politik, pendidikan dan sosial.
Pada saat menjadi presiden bangsa Indonesia, Gus Dur menggunakan pakaian congsan, baju kebesaran Tionghoa ia mengeluarkan perarturan pemerintahan no. 6 tahun 2000, yang menetapkan Imlek (Tahun Baru Cina) sebagai hari libur nasional, sebagaimana hari raya agama-agama lainnya di Indonesia.
Gus Dur memberikan cara pandangan baru kepada masyarakat Indonesia dalam kebebasan bernegara dan kebebasan beragama. Ia memiliki kedekatan yang harmonis dengan siapapun, dan berusaha menciptakan kedamaian dalam keharmonisan kehidupan bersama.
5.        Megawati Soekarno Putri
Megawati merupakan presiden perempuan pertama Indonesia yang menjabat pada dekade 2001-2004 dan merupakan simbol kesetaraan gender pada bidang politik di Indonesia. Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan, tetapi dalam hal-hal tertentu Megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya. Misalnya, mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM, dam pemberlakuan darurat militer di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Gaya kepemimpinan Megawati yang anti kekerasan sangat tepat untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang mamanas kala itu. Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang suatu keputusan yang akan di ambilnya. Namun, begitu keputusan itu di ambil tidak akan berubah lagi. Gaya kepemimpinan seperti itu bukanlah suatu kelemahan. Cukup demokratis, tetapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik.
Kepemimpinan yang berkarakter dan visioner tersebut terlihat juga dalam ketegangannya dalam menolak sebuah grasi para terpidana mati dalam kasus narkoba. Megawati  mengakui, sebagai seorang ibu hatinya menangis ketika mengambil keputusan untuk menolak grasi tersebut. Namun, demi masa depan generasi penerus bangsa, ia harus mengambil keputusan yang secara nurani tidak dikehendakinya. Selain itu, karakteristik kepemimpinannya yang sangat kuat terlihat juga dari beberapa keputusannya yang tidak populis, seperti keputusan mengenai kenaikan harga BBM yang mengikuti standar nilai dan harga di dunia internasional. Keputusan itu tidak begitu saja diterima oleh masyarakat luas. Hal ini ditunjukkan dengan demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa saat itu yang menolak secara tegas kenaikan harga BBM.

6.        Susilo Bambang Yudhoyono.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertipe militeristik. Hal ini disebabkan karena yang mempengaruhi corak kepemimpinan seseorang bisa berupa pendidikan dan pengalaman. Dari segi pendidikan dan pengalaman inilah yang mengindikasikan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono memiliki gaya militeristik. Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono telah lama menyesuaikan diri dengan kepemimpinan sipil yang egaliter dan demokratis tetapi budaya militer sebagai dasar pembentukan karakter kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa contoh kasus gaya kepemimpinan militeristik Susilo Bambang Yudhoyono yang masih melekat, seperti beberapa kali memarahi menterinya didepan umum, memarahi para bupati dan walikota seluruh Indonesia yang tidur ketika Susilo Bambang Yudhoyono sedang berpidato.
Selain itu gaya militeristik Susilo Bambang Yudhoyono tergambar dari tindakan-tindakannya dalam pelaksanaan administrai negara yang formalitas dan kaku. Ini merupakan salah satu karakteristik dari gaya kepemimpinan militeristik yaitu segala sesuatu bersifat formal. Terlihat dari pelaksanaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berjalan dengan prinsip bahwa segala sesuatunya sesuai dengan peraturan artinya setiap pikiran baru harus bersabar untuk menunggu sampai peraturannya berubah dulu, terobosan menjadi barang langka.
Pak Susilo Bambang Yudhoyono berbeda dengan yang lain, karena beliau memiliki kharisma yang berkarakter. Karakter seorang pemimpin masa depan yang mampu memimpin rakyatnya dengan baik. Karisma beliau bukan hanya tebar pesona tetapi karisma yang ada dalam diri beliau adalah karisma yang telah menyatu karena memiliki kepribadian yang unggul. Unggul dalam segala bidang. Baik bidang ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, ataupun pendidikan.
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono juga masuk dalam tipe demokratik mungkin disebabkan karena tuntutan reformasi, situasi dan kondisi saat ini yang semakin liberal. Dimana tipe pemimpin dengan gaya ini dalam mengambil keputusan selalu mengajak beberapa perwakilan bawahan, namun keputusan tetap berada di tangannya. Selain itu pemimpin yang demokratis berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun dan menganalisa pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat. Tidak jarang hal ini menimbulkan persepsi bahwa beliau seorang yang lambat dalam mengambil keputusan dan tidak  jarang mengurangi tingkat determinasi dalam mengambil keputusan. Pemimpin ini kadang tidak kokoh ketika melaksanakan keputusan karena ia kadang goyah memperoleh begitu banyak masukan dalam proses implementasi kebijakan.
Secara teoritis pemimpin tipe ini bisa menerima kritik, kritik dibalas pula dengan kontra kritik. Bukan menjadi rahasia lagi bila seringkali kita melihat dan mendengar bagaimana beliau melakukan kontra kritik terhadap orang-orang yang mengkritiknya. Pak Susilo Bambang Yudhoyono percaya bahwa kebenaran hanya bisa diperoleh dari wacana publik yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Selain itu tipe pemimpin ini dalam mengambil keputusan berorientasi pada orang, apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari manapun.


BAB III
PENUTUPAN

3.1              Kesimpulan
            Dalam kepemimpinan Pancasilan, Pancasila dapat dipakai sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima sila dari pancasila; Ketuhanan yang maha esa maksudnya orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang maha Esa dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab maksudnya tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama manusia tanpa ada diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Persatuan Indonesia maksudnya cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan maksudnya bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maksudnya hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan
            Kepemimpinan pembangunan, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan pembangunan dan para pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu; Kepemimpinan dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu pancasila; Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai; Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan Indonesia.
            Model Kepemimpinan Presiden Indonesia, Presiden Soekarno adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Presiden Soeharto, sebagai presiden melakukan penolakan terhadap demokrasi barat dan memberlakukan sistem demokrasinya sendiri yang disebutnya Demokrasi Pancasila. Meskipun tetap menggunakan istilah demokrasi, pada praktiknya Demokrasi Pancasila justru banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum demokrasi. Rezim orde baru yang dipimpin Soeharto justru bercirikan pemerintahan yang otoriter dan represif. Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu suara rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi.
Presiden BJ. Habibie, setelah memperoleh kekuasaan sebagai presiden, Habibie segera membentuk kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi. Abdurrahman Wahid, kita mengenal sosok pemimpin seperti Gus Dur yang memberikan arah kepada kehidupan bangsa  akan kebebasan beragama dan bernegara. Gus Dur selalu memperjuangkan kaum minoritas seperti Tionghoa agar mendapat haknya sebagai warga negara bangsa Indonesia. Megawati Soekarno Putri, merupakan presiden perempuan pertama Indonesia yang menjabat pada dekade 2001-2004 dan merupakan simbol kesetaraan gender pada bidang politik di Indonesia. Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan, tetapi dalam hal-hal tertentu Megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya. Susilo Bambang Yudhoyono, bertipe militeristik, dilihat dari latar belakang pendidikannya, beliau juga pemimpin yang berkarisma dan demokratis.
3.2              Saran
            Indonesia membutuhkan pemimpin yang memimpin, bukan pemimpin yang dipimpin. Pemimpin yang independen, merdeka tanpa ada tekanan dari pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi. Pemimpi yang kuat, tangguh, jika saja indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin, pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin. Selain itu juga menjadi seorang pemimpin itu adalah amanah, begitu juga dengan para elite politik yang duduk di struktur formal pemerintahan, mereka memperoleh jabatan karena rakyat telah memberikan kepercayaan. Maka sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menyingkirkan apa saja yang akan membuat murka hati rakyat dan menjauhkan diri dari apa saja yang akan membuat rakyat menaruh benci. Pemimpin itu harus merakyat dan tidak menaruh jarak dengan rakyat, karena adanya jarak akan mempersempit pengetahuan tentang kondisi rakyat


 DAFTAR PUSTAKA

Ricky, Arnold Nggili. 2016. Structural or Non Structural Leadership. Jakarta: Guepedia
Sejati, Dwi Fajar. 2015. RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) SD Kelas 4,5,& 6. Jakarta: Cmedia



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar